Kisah Fadli Zon Berburu Piringan Hitam
Therockjournal, Jakarta: Demam rilisan fisik sedang melanda
industri musik di tingkat global maupun nasional. Salah satu format rilisan
fisik yang kini sedang digemari adalah piringan hitam atau yang biasa disebut
vinyl.
Kali ini, Therockjournal sedang berkesempatan mewawancarai
seorang Wakil Ketua DPR RI yang juga seorang sejarawan. Dia adalah Fadli Zon,
yang mengaku koleksi piringan hitamnya lebih lengkap dari Lokananta.
Fadli mulai mnggemari piringan hitam sejak lama. Dia juga tergolong
sebagai orang yang maniak terhadap benda-benda antik yang memiliki nilai
sejarah tinggi.
Untuk piringan hitam, dia memang spesialis kolektor karya
musisi Indonesia sebelum kemerdekaan hingga sesudah kemerdekaan. Beberapa
koleksi terlengkap yang menjadi favoritnya adalah Rhoma Irama dan Koes Ploes.
Menurut politikus Partai Gerindra itu, mendegarkan musik
melalui piringan hitam dapat menciptakan kenikmatan tersebdiri. “Saya suka
karena kalau mendengar piringan hitam itu seperti ‘lain’ ya. Masih murni, masih
kresek-kresek seperti kita time traveling ke masa lalu,” kata Fadli di Kompleks
Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (19/3/2015).
Selain mengoleksi, Fadli juga mengubah formatnya ke dalam
file digital. Dia setidaknya sudah mentransfer file setidaknya 8000 keping
piringan hitam. Bahkan terkadang, pihak pemerintah Belanda terkadang meminta
file tersebut kepada Fadli untuk keperluan pengarsipan.
“Awalnya saya dulu saya cari (piringan hitam) sendiri. Mulai
dari Jalan Surabaya sampai ke koleksi-koleksi orang saya ambil (beli). Tapi ada
juga saya yang dikasih,” imbuh Fadli.
Fadli memperkirakan, selain dirinya, ada lagi anggota dewan
yang juga gemar mengoleksi piringan hitam. Fadli menyebut Politikus Partai
Golkar, Tantowi Yahya salah satunya.
“Tapi kayaknya banyakan saya deh koleksinya,” ujar Fadli
sambil tertawa.
Sedangkan kesulitannya dalam mengumpulkan piringan hitam terbentur
kepada kuantitas produksi yang terbatas. Hal ini dikarenakan, banyak label yang
merilis jumlah piringan hitam dalam kategori minim. Apalagi, rilisan kuno
dengan jumlah terbatas akan menyulitkan kolektor seperti Fadli.
Fadli bangga, dirinya telah mempunyai arsip-arsip lama
Indonesia baik itu sejarah musik, maupun sejarah keemrdekaan. Kesemua piringan
hitam yang dia koleksi mempunyai harga yang bervariasi. Mulai dari Rp50 ribu
sampai Rp5 juta per keping.
Selain piringan hitam, Fadli juga mengoleksi Gramaphone. Tapi,
perawatan untuk Gramaphone tua juga terbilang sulit, karena beberapa bagian
komponennya yang mudah patah.
“Saya selain mengoleksi piringan hitam juga mengoleksi turntablenya.
Saya punya dari mulai Edisson tahun 1917,” jelas Dia.
Untuk perawatan piringan hitam dan gramaphone, pada dasranya
tidak memutuhkan perhatian khusus. Hanya butuh pembersihan debu secara rutin
saja apabila ada yang melekat.
Pada kesempatan yang sanma, Dia mengaku mendukung banyaknya
anak muda saat ini yang gemar mengoleksi piringan hitam dan rilisan fisik
lainnya. Selain bisa menekan pembajakan, mengoleksi piringan hitam dari musisi
Indonesia dinilai dapat mengarsipkan warisan budaya. Meskipun, fenomena mengoleksi
piringan hitam saat ini diaanggap sebagai tren belaka.
“Saya kira belum kalau ke industri. Kan semuanya masih kolektor
item gitu,” ujar Fadli.
Dia menceritakan, proses berkreasi dalam rekaman jaman dulu
dan sekarang sangatlah berbeda. Jika dulu, orang ketika merekam di piringan
hitam, musiknya dimainkan secara live dan membutuhkan kekompakan dan
perfeksionitas yang tinggi. Sedangkan saat ini, hanya perlu mengedit secara
digital apabila ada kesalahan. Sehingga piringan hitam ini hanya sebuah medium
format.
Beberapa koleksi lengkap piringan hitam Fadli antara lain
seperti Serial Mercy, D’Loyd, Rhoma Irama, Idris Sardi, Bubi Chen, Orkes Maya
Seroja dan hadiah konferensi Asia-Afrika yang memuat lagu Gendjer-Gendjer serta
piringan hitam yang menjadi buah tangan Lekra ke Tiongkok tahun 1963.
(TRJ)
Comments
Post a Comment