FSTVLST – FSTVLST II (FSTVLST RECORD PROJECT, 2020)
Lebih Bijak dan Tetap
Kritis
Hal yang pertama kali mencuri perhatian ketika melihat secara
holistik album “FSTVLST II” dari FSTVLST ialah artwork albumnya yang unik. Sepintas terlihat serupa agregat antara
artwork album Yeezus-nya Kanye West
dan karya seni pisang dilakban ke dinding yang terjual dengan harga US$ 120.000.
Lalu apakah konten dari album FSTVLST II ini merefleksikan kritikan layaknya instalasi Maurizio
Catellan yang berjudul pisang lakban "Comedian" atau iktirad sosial
semacam Black Skinhead-nya Kanye?
Pada album debut Hitch
Kistch (2014) pendengar disuguhkan lagu-lagu ciamik yang penuh dengan ramalan
kejadian besar di Indonesia, pasca tahun 2014 (ketika album ini dirilis). Hitch
Kistch ini begitu relevan dengan peristiwa-peristiwa sosial di dasawarsa
2010-an dan menjadi soundtrack yang
pas atas fenomena yang ada, seperti misalnya munculnya demonstrasi
besar-besaran. Fenomena riot tersebut
terjadi di kota-kota besar, seperti misalnya aksi 411, 212 (berjilid-jilid) dan
kejadian besar menjelang Pemilu 2019 lainnya. Dalam lagu yang berjudul “Orang-Orang
di Kerumunan” seakan menarasikan hal tersebut.
Perbedaan album Hitch Kistch bila dibandingkan album lokal
lainnya adalah sifatnya yang deduktif. Setelah album ini rilis, berbagai
peristiwa yang terjadi di Indonesia seolah-olah mengamini diskursus album ini.
Tak hanya persoalan sosial saja yang dibahas melalui album ini, namun ada juga
upaya self-healing guna menyudahi
kesedihan pada track “Menantang Rasi
Bintang”. Selain itu ada juga lagu easy
listening nan catchy pada “Tanah
yang Indah Bagi Para Terabaikan” dan “Ayun Buai Zaman” yang beratmosfer ke
U2-an.
Ada juga “Hari Terakhir Peradaban” (lagu bertema peradaban
memang selalu seru untuk dibahas) yang mengajak pendengar untuk bergoyang. Lagu
tersebut mengingatkan kembali akan konsep “The End of History and the Last Man”-nya
Francis Fukuyama yang sarat akan gambaran konsumerisme, perang dan perilaku barbarianisme
di dunia ini.
Lalu bagaimana dengan FSTVLST II?
FSTVLST II hampir mirip dengan Hitch Kistch dalam beberapa aspek.
Namun FSTVLST II terdengar lebih bijak dengan sikap kritis yang masih mengendap di
setiap deret syairnya. Selain itu, FSTVLST II juga menyajikan langgam yang cenderung lebih kalem dan berusaha mengurangi kadar agresifitas pada sebagian besar
lagunya. Bisa dikatakan FSTVLST di FSTVLST II terdengar lebih ingin menjadi diri
sendiri. Album kedua ini lebih bertekstur minimalis dengan komposisi musik yang
tidak saling tumpang tindih, khas U2.
Meskipun begitu, kita tak akan kehilangan ciri kelir FSTVLST, dengan eksplanasi album yang unik serta bumbu lirik khas yang menyerupai puisi tersebut. Sehingga gubahan musik-musiknya punya corak distingtif, yang tentunya mudah sekali melekat di kepala dan membuat siapa saja terpikat.
Dapat dikatakan, FSTVLST II adalah versi bijak dari Hitch Kistch.
Pendengar pun akan dibuat penasaran, sekiranya ramalan apa lagi yang akan
terjadi via album FSTVLST II ini? Terlepas
dari itu, FSTVLST II secara materi telah menyentuh perasaan pendengar dengan lagu
tentang cita-cita dan bagaimana cara merawatnya pada nomor mukadimah “Gas!”.
Balada pembuka ini mengalun rendah, memotivasi dan cukup merepresentasikan isi
album ini serta perasaan khalayak saat ini yang (mungkin) terkena dampak pandemi.
Bahwa dalam hidup ini kita akan selalu berproses, naik dan turun.
Beberapa lagu bertempo agresif seperti “Rupa” yang beraroma garage rock, layaknya The Strokes dan Arctic
Monkeys, yang tentunya juga menjadi nomor asyik untuk bergoyang. Selanjutnya,
FSTVLST juga membahas ekologi secara kritis melalui “Telan”, persoalan keberagamaan
pada “Hayat” dan perlawanan tiada akhir tak kenal lelah pada “Kamis” (tentang
aksi Kamisan). Terakhir, ditutup dengan elegan lewat “Opus” yang kembali
menyadarkan manusia tentang hidup ini. Narasi besar kini telah beralih ke diskursus
yang lebih mikro. FSTVLST II secara garis besar merupakan bahasan pillow talk yang sering membahas hal-hal disekitar kita secara
ringan, mulai dari nasib, hidup sampai ke fenomena kerusakan lingkungan.
Mengasosiasikan diskursus pada FSTVLST II seperti halnya menelaah sociology of everyday life, yang mengedepankan
analisis berskala kecil mengenai kegiatan, hubungan dan rancangan-rancangan
kultural dalam kehidupan sehari hari. Layaknya Alfred Schutz yang berusaha
untuk menganalisis pemikiran common sense
dalam interaksi sehari-hari (baik di dunia nyata ataupun cyberspace).
Pada album FSTVLST II, corak "Almost Rock, Barely Art"
masih nampak jelas: lirik yang bernas serta dipadu dengan komposisi musik yang
mudah merasuk ke semua kalangan. Kita tunggu, ramalan apa saja yang akan
terbukti di album FSTVLST II ini.
(Dani KDL)
Comments
Post a Comment