Catatan Tentang 20 Tahun Album Kid A

 


Pertama, saya ingin mengucapkan selamat ulang yang tahun ke-20 untuk album Kid A milik Radiohead. Saya masih ingat betul ketika pertama kali menyimak album yang dirilis pada tanggal 2 Oktober 2000 oleh label Parlophone tersebut. 

Saya ingin merawi bagaimana album studio keempat yang dirilis pada tahun 2000 ini begitu substansial bagi sudut pandang saya saat ini. Semuanya diawali ketika saya masih SMA pada tahun 2007, yaitu saat saya masih gemar membaca majalah musik yang memuat chord gitar lagu populer. Akses internet kala itu masih menjadi barang lewah bagi saya, alhasil sumber informasi sebagian besar masih berasal dari publikasi majalah domestik. Pada salah satu rubrik di majalah tersebut mengulas album OK Computer (1997) yang juga didaulat sebagai top 10 rock album versi mereka sendiri. Mulai dari situ, saya mengenal album OK Computer dan berhasil mendapatkan sharing MP3 dari salah satu rekan di SMA.

Walaupun saat itu album OK Computer telah berusia satu dasawarsa, namun kecanggihan sound yang dihasilkannya masih tetap belum ada tandingannya bagi saya. Saya masih ingat bagaimana gawai Sony Ericsson jadul saya diisi dengan track di album ini dan berhasil mengaduk-aduk isi kepala ketika diputar. Bagi remaja yang tumbuh di desa, mendengarkan OK Computer adalah kemewahan yang istimewa. Saat jajan ke warnet, ritual yang biasa dilakukan adalah mengeprint lirik lagu-lagu di album ini untuk ditelaah.

Setelah beberapa bulan menyelami OK Computer, saya secara tidak sengaja menemui album Radiohead yang sangat divergen. Pada sebuah pusat perbelanjaan di Kendal, saya mendatangi rak-rak kaset yang di jual pada pintu masuknya. Saat itu memang sedang era CD dan MP3, namun saya masih tertarik membeli kaset supaya bisa mendengarkannya secara secara utuh full satu album dengan tambahan lirik-liriknya. Saat menyelisik daftar pada abjad “R”, saya menjumpai Radiohead dengan album yang berjudul Kid A. Saat kuliah saya baru tahu ternyata Kid A diambil dari sebuah sequencer milik Radiohead. Karena penasaran dengan album tersebut, saya merogoh kantong dan mengambil duit Rp.11.000 untuk satu kotak berisi gulungan pita hitam ini.

Sampai di rumah, saya coba putar kaset yang diproduksi oleh PT. EMI Indonesia dan didistribusikan oleh PT. Aquarius Musikindo ini. Dengan berbekal radio tape yang sudah ketinggalan zaman, saya mengobservasi album yang benar-benar ganjil itu. Aneh dalam artian, tak ada reff ataupun solo gitar membahana layaknya yang sudah-sudah pada tradisi rock. Hanya ada efek-efek elektronik, modular dan ambience pesan luar angkasa dalam album Kid A, sehingga hal ini membuat saya berpikir bahwa ini adalah kekhilafan terbesar Radiohead. “Everything in Its Right Place” membuka Kid A dengan serpihan pesan alien dari galaksi lain dengan sinyal yang terputus-putus. “…Kid A, Kid A, Kid A” mengawali track yang terdengar seperti orang yang merintih, depresi meminta candu. Pertama kali mendengar keutuhan album ini, saya tidak pernah berpikir untuk mendengarkannya lagi.



Ditambah lagi, sleeve kaset album Kid A ini tidak ada liriknya sama sekali. Hanya ada keterangan atau credits soal pembuatan album dan beberapa artwork abstrak yang saling menyatu. Bagi saya yang sangat minim referensi musikal saat itu, Kid A adalah sebuah album yang kelewat berani dan terkesan tidak ingin menghibur pendengarnya. Akhirnya, saya kemas kaset Kid A tersebut dalam rak kaset paling bawah. Setelah itu saya kembali memutar album-album yang sesuai dengan semangat muda saya yang meledak-ledak kala itu.

Butuh waktu hampir setahun bagi saya untuk kembali mendengarkan album Kid A. Saya balik mencari Kid A setelah secara tak sengaja membaca sebuah artikel online di warnet, bahwa album baru Radiohead yang berjudul In Rainbows telah didaulat sebagai album terbaik di tahun 2007.  Katanya, In Rainbows merupakan sebuah album yang penuh inovasi dalam hal distribusi berupa unduhan gratis dan bayar suka-suka, serta pola penulisan lagu yang banyak diapresiasi kritikus. Meskipun ketika saya dengarkan beberapa lagu di album ini, justru mengingatkan saya pada Kid A. Menurut saya album-album Radiohead di sepanjang dekade 2000, kitab utamanya masih di Kid A. Maka dari itu, saya merasa perlu memafhumi album yang diproduseri oleh Nigal Godrich ini.

Perlahan-lahan saya setel kembali Kid A dan mencari tahu fakta tentangnya via internet di tahun 2008. Selain artikel tentang ulasan rating dan prestasi album, beberapa informasi menyebutkan bahwa Kid A berasosiasi dengan konspirasi peristiwa 9/11. Konon katanya, mulai dari desain sampul yang dikait-kaitkan dengan dua pencakar langit runtuh, lirik aneh yang terucap dan urutan judul lagu yang semuanya meramalkan peristiwa yang terjadi setahun setelahnya. Bagi penggemar teori konspirasi tentunya akan menyukai narasi tentang Kid A ini. Serta tentu saja akan lebih seru bila diputar sembari mendengar kuliah dari Noam Chomsky.

Terlepas dari itu semua, kebetulan tahun 2008 juga rilis album Viva La Vida-nya Coldplay (saya juga menyukai album ini) dengan lagu andalan berjudul “Viva La Vida” yang mengingatkan saya akan intro piano “Everything in Its Right Place” namun dengan aura yang lebih positif. Saya mengira, mungkin saja Chris Martin terinspirasi oleh “Everything in Its Right Place”, siapa tahu. Setahun kemudian, di album Amnesiac (2001) juga muncul track serupa namun dengan tempo yang lebih lambat bernama Pyramid Song, sebuah lagu angker menuju dunia setelah kiamat. Lagu “Everything in Its Right Place” ini terdengar seperti cetak birunya Kid A dan album-album hebat setelahnya.

Ditambah lagi beberapa DJ juga ikut meremix lagu “Everything in Its Right Place” yang menjadikannya terasa klop jika ditarik benang lurusnya dengan track disko industrial “Idioteque”. Selain itu juga ada track “Kid A” yang menandai era revolusi komputer serta repetisi bassline terdistorsi pada “The National Anthem” yang ikonik, seakan mengiringi kemelut Perang Irak tahun 2003. Warna Kid A ini selanjutnya membawa arah budaya baru, terutama bagi Radiohead itu sendiri. Mungkin saja daya kejut beat-beat di Kid A ini sama mengagetkannya pada saat di terminasi 80-an sedang dihajar album Pretty Hate Machine-nya Nine Inch Nails.

Jika diamati, lirik-lirik dalam Kid A ini seperti kolase kata. Potongan-potongannya mungkin saja didapatkan dari berbagai surat kabar, berita, puisi, jurnal dan tiap barisnya memiliki sumber yang beragam. Justru menariknya di sini. Tatkala secara harfiah lirik tidak menghibur, Kid A malah menitikberatkan kepada kebebasan dalam meramu nada dan suara. Tak ada lirik aneh, berat, dangkal atau remeh dalam semesta Kid A. Semuanya sudah berjalan sesuai dengan spirit kebebasan dalam berkesenian. Kid A telah mendekonstruksikan teks-teks dalam tradisi dan budaya musik yang dulu sempat menjadi pola-pola populer, layaknya pemikiran pascamodern.

Konfigurasi Kid A dengan segala macam elemennya terdengar begitu matang arah konsep dan pemikiran latennya. Radiohead telah mengambil risiko di album ini dan mencoba merombak musik rock tradisional yang sudah ada. Dalam wawancara pada Rolling Stone pada Oktober 2000, Thom Yorke menyebut “Kid A itu ibarat mengeluarkan penghapus besar dan mulai dari awal lagi,” dan dilanjutkan dengan “Saya merasa sulit menganggap jalur yang telah kami tempuh sebagai ‘musik rock’.”. Album tersebut bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang ingin mengeksplorasi musik tanpa batasan, termasuk bagi saya sendiri. Dalam proyek musik eksperimental bernama The Kiriks, saya membutuhkan referensi yang kuat untuk mewujudkan keberanian tersebut. Dan keberanian tersebut saya dapatkan dari Kid A, serta juga dari album Ummagumma-nya Pink Floyd.

Saat masih remaja SMA dulu, Kid A sempat menjadi album yang sangat saya hindari. Namun ternyata justru kini album inilah yang berpengaruh besar terhadap semangat dalam proses kreatif bermusik saya di sepanjang dekade 2010. Kid A kini telah berusia 20 tahun dan sampai sekarang apa ada yang benar-benar memahaminya? Selamat jika anda salah satunya.

Comments

Popular posts from this blog

Playlist Lagu Masa-masa Mencari Pekerjaan

Morfem – Hey, Makan Tuh Gitar: Album Kedua Tetap Berenergi

The SIGIT – Detourn: Kembalinya Para Druids