Isu Kesehatan Mental Dalam Album Pop Indonesia
Sumber: Freepik |
Pada
percakapan dini hari, seorang kawan pernah mempertanyakan tentang apa itu musik
protes. Saat itu kami sedang mendengarkan Those Shocking Shaking Days,
yang menurut para kritikus syarat akan nuansa protes pada zaman Orde Baru.
Lalu, apakah musik protes itu identik dengan distorsi kencang dengan suara
instrumen yang meraung-raung, atau justru sebaliknya yang bersifat
dekonstruktif secara pola? Dari perbincangan santai tersebut, kami sebagai
orang awam sepakat bahwa musik membutuhkan elemen sastrawi untuk menunjukkan
identitas dan maksudnya. Sebab, musik yang terdiri dari gugusan nada dan sonik
tersebut akan bersifat multitafsir, tanpa adanya kata-kata.
Sedangkan
khalayak cenderung akan menilai sebuah makna musik tentu dari untaian bahasa di
dalamnya. Maka dari itu, pemakaian kata “Lagu” terdengar lebih pas ketimbang
“Musik”, apabila kita sedang membahas sebuah pesan sastrawi atau tafsir yang
terkandung dalam alunan nada tersebut.
Kita
tahu bahwa lagu merupakan hasil budaya masyarakat dunia. Salah satu sifat dari
kebudayaan adalah diwariskan ke generasi selanjutnya dan dipraktikkan kembali
dengan beberapa elemen adaptasi. Terbukti dari semakin berkembangnya subgenre
lagu-lagu di dunia saat ini. Dari kepopulerannya tersebut, lagu menjadi budaya
pop di bumi karena memang digemari oleh masyarakat secara luas. Kelebihan
budaya pop ini ialah sifatnya yang mudah diterima, diresapi dan dipahami oleh
publik luas, sehingga berkembang serta tersebar begitu cepat.
Beragam
lagu telah mewarnai masyarakat dunia, terutama di Indonesia. Lagu merupakan
elemen penting bagi masyarakat Indonesia, karena tiap-tiap kebudayaan daerah
memiliki pengalaman musikal yang khas serta beragam. Selain itu, mulai dari
zaman penjajahan, kemerdekaan, reformasi hingga sampai sekarang ini, musik
memiliki catatan sejarahnya masing-masing. Musik telah mendokumentasikan
berbagai peristiwa manusia.
Sedangkan
dalam budaya lagu pop Indonesia, isu percintaan adalah tema yang paling sering
dijadikan bahan inspirasi. Percintaan ini wujudnya macam-macam, tapi umumnya
berkisar kepada fenomena mencintai perempuan atau lelaki pujaan. Selain itu
juga ada tentang kisah pahit manisnya jatuh cinta. Hingga patah hati dan
perselingkuhan. Tema mencintai orang lain ini tentunya begitu komersial di
Indonesia.
Namun,
tampaknya tema cinta yang itu-itu saja membuat bosan beberapa kalangan,
termasuk penikmat musik dan pencipta lagunya. Jika kita amati pada dekade
2010-an, beberapa musisi di Indonesia mulai menggali tema percintaan yang tidak
umum, yaitu mencintai diri sendiri alias self love. Mencintai diri sendiri
awalnya sering dianggap ‘aneh’ oleh masyarakat karena ada kesan narsistik di
dalamnya. Anggapan masyarakat umum selama ini adalah bahwa mencintai itu harus
untuk orang lain. Namun kita tentu tahu bahwa diri sendiri juga berhak untuk
dicintai sebelum memberikan kasih sayang kepada orang lain.
Selain
itu, tema mencintai diri sendiri juga merupakan bukti ungkapan rasa syukur atas
nikmat yang telah ada sampai saat ini. Dari mencintai diri sendiri, kita akan
lebih tahu tentang isu kesehatan mental yang menjadi perhatian di Indonesia
secara masif dalam sepuluh tahun terakhir ini. Mencintai diri sendiri sangat
diperlukan agar kesehatan mental individu tetap terjaga. Isu kesehatan mental
ini ternyata telah menjadi topik kegelisahan beberapa musisi Indonesia. Bisa
dibilang, isu tentang mental health ini tidak bisa dianggap remeh,
karena dampaknya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup individu. Tentunya,
saat ini banyak musisi di Indonesia dari genre yang berbagai macam yang
telah mengangkat isu kesehatan mental ini pada karya-karyanya. Namun ada
beberapa karya album yang begitu esensial dan patut untuk didengarkan serta
menjadi bahan renungan. Berikut ini adalah empat album pop Indonesia yang
menangkap persoalan kesehatan mental.
1.
Tulus – Manusia (2022)
Tak
jarang orang yang menganggap Tulus sebagai pahlawan. Lirik lagu Gajah (2014)
yang terilhami oleh pengalaman pribadinya di masa kecil, telah menyelamatkan
mental anak-anak dan remaja di Indonesia. Di media sosial dan di kolom komentar
berbagai platform, banyak yang berterima kasih terhadap Tulus karena
telah membuat lagu yang indah dengan lirik yang positif tersebut. Soal narasi
liriknya, Tulus memang ahlinya. Konon katanya, daratan Sumatera adalah tempat
lahirnya pujangga-pujangga hebat dan penulis lagu hebat di nusantara. Bisa jadi
hal ini benar. Salah satu contoh di era saat ini adalah kehadiran pria dengan
nama Muhammad Tulus yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat tersebut.
Setelah
Gajah, Tulus kembali menyuguhkan lirik penyemangatnya pada “Manusia Kuat” di
album Monokrom (2016). Lagu pembuka ini dapat dikatakan anthem
penyemangat pada album tersebut. Akan tetapi, dari semua album bagus dari Tulus
tersebut, yang paling esensial dan menegaskan karakter seorang Tulus adalah
Manusia yang dirilis pada tahun 2022. Album studio keempat ini terdengar bahwa
Tulus ingin menjadi diri sendiri, baik dari sentuhan sonik maupun pada tataran
sastrawi. Tulus adalah penyanyi dengan gayanya sendiri. Cukup menjadi Tulus
yang menyuarakan perasaan seperti ini saja, itu sudah lebih dari cukup.
Manusia
dapat dikatakan sebagai album yang mengisahkan perdamaian dengan diri sendiri.
Gejolak perasaan manusia di usia remaja hingga dewasa cukup terangkum dalam
album ini. “Diri” adalah lagu kunci di album ini yang menyiratkan bahwa
seseorang perlu memaafkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi. Di album
Manusia, Tulus menguatkan karakternya sendiri dengan lirik yang sangat tulus
dan menenangkan.
2.
Yura Yunita – Tutur
Batin (2021)
Materi
Yura Yunita begitu bervariasi di album Tutur Batin (2021). Ini adalah wujud
pendewasaan seorang Yura Yunita dengan beragam kompleksitas perasaan yang
dihadapinya saat ini. Semuanya perasaan dari senang sampai pilu bercampur dalam
satu bunga rampai. Kompleksitas itu yang membuat album ini menjadi lebih terasa
personal dan menampilkan sosok Yura Yunita yang otentik. Selain itu, isu
kesehatan mental juga menjadi salah satu bahasan album Tutur Batin ini.
“Tenang”,
“Tutur Batin” dan “Dunia Tipu-Tipu” adalah warna baru di album Yura Yunita.
Tema ini cukup berbeda dengan dua album sebelumnya, Yura (2014) dan Merakit
(2018). Dari album Tutur Batin ini, kita akan melihat perspektif isu kesehatan
mental dari sisi perempuan. Berharga, layak dihargai dan mandiri adalah pesan
Yura Yunita kepada para pendengarnya yang sedang merasakan getir pahitnya
perasaan.
3.
Hindia – Menari Dengan
Bayangan (2019)
Baskara
Putra adalah sosok musisi muda yang membuat banyak gebrakan pada dekade
2010-an, karena telah melahirkan band rock .Feast, mendirikan label Sun Eater
dan tentunya proyek solonya dengan nama Hindia. Dia merupakan salah satu
pencipta lagu brilian di generasinya. Jika di .Feast, Baskara bertindak sebagai
frontman dan meluapkan kemarahan untuk mewakili keresahan masyarakat,
maka dengan nama Hindia Dia menjadi diri sendiri untuk mencurahkan perasaannya.
Secara produk musikal, .Feast dan Hindia adalah entitas yang berhasil, walaupun
keduanya memiliki karakter musik yang sangat berbeda.
Di
penghujung dekade 2010-an, Hindia merilis debut albumnya yang berjudul “Menari
dengan Bayangan” di bawah naungan label Sun Eater. Menari Dengan Bayangan
berisikan 15 Lagu bergaya pop alternative/R&B, yang berkolaborasi
dengan beberapa musisi, seperti Sal Priadi, Rara Sekar, Petra Sihombing hingga rapper
Mattermos. Tentunya, tema-tema seputar pengalaman pribadi dan curahan perasaan
menjadi benang merah album ini. Menari Dengan Bayangan berisikan materi yang
sangat mendalam dan mampu membaca narasi zaman beserta perasaan di dalamnya.
Album
ini akan membantu pendengar mendapatkan semangatnya kembali karena narasi lirik
yang ditulis begitu solid dan langsung menancap ke dalam perasaan. Album yang
terinspirasi dari Mantra Mantra-nya Kunto Aji ini, dapat mendorong pendengar
untuk kembali menata perasaan bangkit dari keterpurukan. Simak saja pada lagu
“Evaluasi” ataupun “Besok Mungkin Kita Sampai” yang memulihkan dari berbagai
perasaan negatif seperti depresi ataupun trauma. Nyatanya, banyak yang
tertolong secara psikologis oleh kekuatan lirik di album Menari Dengan Bayangan
ini.
4.
Kunto Aji – Mantra
Mantra (2018)
Bisa
dibilang, Mantra Mantra adalah pionir album yang mengangkat isu kesehatan
mental di Indonesia. Setelah Mantra Mantra, beberapa musisi terinspirasi
mengangkat problematika yang sama. Tema yang diangkat dalam Mantra Mantra
berkaitan dengan gejala overthinking. Kesembilan lagu di dalamnya
membahas persoalan depresi, keinginan bunuh diri, beban percintaan serta karir.
Mantra Mantra ini sangat berbeda dengan album pertama Kunto Aji yang berjudul
Generation Y (2015), baik secara aransemen ataupun tema. Mantra-Mantra lebih
menyuguhkan jenis musik pop/R&B yang mengawang, bertempo lebih lambat
sehingga menciptakan efek relaksasi.
Butuh
keberanian untuk merilis album pop seperti ini. Di luar dugaan, publik pun
banyak yang termotivasi dan berkurang beban pikirannya setelah mendengarkan
Mantra Mantra. Getaran “Pilu Membiru” begitu kuat terasa di sekujur lirik dan
aransemennya. Kunto Aji berhasil membawa kisah personalnya ke relung hati
pendengarnya sampai terasa teriris-iris. Tidak hanya itu, dia juga memasukkan
frekuensi suara 396 Hz yang secara ilmiah bisa membuat pendengar lebih tenang
dan mampunmengeluarkan aura negatif dalam tubuh.
Mendengarkan
Mantra Mantra akan membuat pendengar instropeksi diri dan berkontemplasi.
Secara materi album, Mantra Mantra tergolong album yang eksploratif.
#DearSenjaBlogCompetition
Comments
Post a Comment