Adrian Adioetomo – Karat & Arang: Kuantitas Menentukan Kualitas
Adrian Adioetomo
kembali merilis album berjudul Karat &
Arang. Kemasan dengan tekstur gelap dan sleeve unik ini menyajikan dobel CD yang terbagi menjadi dua bagian: Karat dan Arang. Total lagu berjumlah 17 lagu
plus 6 bonus tracks—kesemuanya adalah lagu yang
diciptakan Adioetomo circa 2009 dan direkam pada 2012. Alhasil, album ini
sangat padat berisi konten-konten variatif dari permainan Adioetomo sebagai
seorang musisi musik blues atau bluesman yang memainkan musik.
Pada bagian Karat berisikan 8 lagu utama yang
dibuka dengan “Rongsokan (excerpt)” dengan kocokan blues yang menjadi pondasi keseluruhan Karat. Lagu ini hanya pemanasan saja. Di sesi bonus
track terdapat “Rongsokan” versi utuh. Pada lagu “Sabda Baru”, Adioetomo
bernyanyi mengawang dengan tempo lambat. Nuansa serupa juga terdapat di lagu
“Pemberontak Terakhir”. Yang menarik dari lagu-lagunya adalah penggunaan
metafora dan personifikasi unik dalam lirik.
Penggunaan sound kebisingan dan permainan
atmosfir membuat kocokan gitar blues itu menjadi asyik dinikmati. Jika hanya dimainkan dengan gitar
akustik atau elektrik, orang yang tidak paham blues mungkin cenderung merasa jenuh. Suasana kebisingan cukup menambah
penonjolan nada-nada gitar Adioetomo. Salah satu yang sulit dilakukan adalah
ketika orang ingin menyanyikan lagu-lagu di album ini. Pemilihan nada vokal
yang mungkin hanya Adioetomo menyanyikannya. Nada antara kondisi malas dan
tetap fokus, suatu kondisi yang sulit dilakukan pendengar untuk menghafal atau
mengingat secara detil lagunya. Simak pada lagu “Lidah Api Menari”.
“Arwah Kereta” dan
“Hantu Dalam Mesin” sangat unik dalam segi lirik. Dengan penggunaan kata-kata
unik seperti “hantu” yang keren ketika dimainkan. Hal serupa pada “Pantun
Nasib”, ketertarikan sebenarnya yang sayang untuk dilewatkan adalah suara noisy pengiring gitar tersebut. Untuk
membuat suasana semangat dan dapat dinikmati siapapun, terkadang blues tidak membutuhkan semacam alat pengatur ritme seperti dram atau
perkusi. Dengan memainkan bunyi-bunyian yang dapat mengiringinya, itu sudah
cukup.
Suasana menjadi intim
ketika lagu “Sepanjang Nafasku Kemudian” dan sampai lagu “Mengerti” yang
diputar di tengah malam memiliki efek luar biasa. Dengan iringan puisi lirih di
sela-sela lagu, seperti dibawa ke berbagai jaman dengan experimental
sound seperti suara radio, kereta kuda (mungkin), dan berakhir dengan
suara penyanyi tradisional yang sangat magis. Pada bonus track “Dalam Bidikan” akhirnya menemukan sound dram untuk menambah sedikit pelemasan telinga setelah diaduk-aduk
nada rumit blues dan experimental
sound. Instrumen harmonika juga terdengar di “Terlalu Mabuk” dan suara
dram dan gitar berdistorsi pada bagian reffnya. Sebagai penutup sesi Karat, lagu ini memang pas dengan variasi sound lebih sederhana tapi sangat mengena.
Suasana menjadi
sangat Amerika pada zaman koboi ketika lagu “Tuan Tanah” membuka sesi Arang. Untuk kali ini, harmonika
bermain sepanjang lagu membuat efek manis dan Adioetomo juga bernyanyi dengan
nada-nada santai. Untuk sektor lirik,
bagian Arang lebih mudah diintepretasikan
ketimbang Karat.
Secara kuantitas,
total 23 lagu pada dobel CD ini tidak membuat kesan bosan meski butuh waktu
untuk mencernanya. Mungkin tidak semua orang langsung jatuh cinta saat
mendengar album ini. Cobalah putar album ini sekencang-kencangnya, maka
orang-orang di sekitar Anda yang mendengar akan minta diputarkan kembali.
- See more at:
http://jurnallica.com/writing/review/item/873-adrian-adioetomo-%E2%80%93-karat-arang-kuantitas-menentukan-kualitas#sthash.vAtMAmYA.dpuf
Comments
Post a Comment