Catatan Petualangan Idealis Taufiq Rahman Mencari Rock n Roll



Pertama kali melihat cover buku hitam yang ditaburi tulisan kata-kata berwarna putih dan ada yang berwarna merah ini kesan ‘berat’ langsung saya lontarkan pada buku Taufiq Rahman ini. Melihat di sampul buku yang di dalamnya terpanpang kata Syd Barret, Pink Floyd, Lollapalooza dan kurt Cobain saya sudah menduga kalau buku ini bercerita tentang musik-musik dan gejalanya yang biasa Taufiq Rahman analsisa di jakartabeat.net. Akan tetapi setelah dilihat secara sekssama ada kata Syeh Siti Jenar, Sundel Bolong, Mahasiswa, dan Danau Michigan yang saya tebak adalah kisah perjalanan dan pengalamannya dalam penulisan buku ini.
Kebetulan setelah bergabung dalam member jakartabeat.net pada awal puasa 2012, saya merasa senang akhirnya bisa bergabung dengan komunitas kajian mendalam tentang musik, film, dan gagasan-gagasan ini. Setelah bergabung, saya masih beradaptasi dengan forum member dan cara penggunaannya yang masih asing. Saat itu, saya selalu dipandu oleh salah satu admin JB (bukan Justin Bieber) sapaan untuk jakartabeat.net dalam penggunaan fitur-fitur website. Sebelumnya saya sangat terbelalak melihat ulasan musik dalam JB yang berbeda dengan majalah musik lainnya, yaitu sangat mendalam yang banyak gagasan-gagasan baru. Bagi saya, tulisan yang semacam inilah yang sangat bagus untuk meningkatkan wawasan, karena dengan bahasa ringan dan pembawaannya seperti bercerita yang membuat tulisan-tulisan tersebut mudah dicerna, meskipun dengan tema berat.
Sebagai member baru tentunya saya telah mengutak atik arsip-arsip tulisan lama dan baru, dan melihat berbagai kontributor menulis dengan hal-hal yang disukainya. Salah satunya Taufiq Rahman yang saya lihat kerap menuliskan musik pada aspek politis dan dampak sosialnya. Sedangkan kontributor yang lainnya ada yang berfokus kepada masalah pluralisme dan agama, skena hip-hop, metal, grunge, dan hobi-hobi yang memiliki gagasan-gagasan baru. Maka dari itu, tidak heran sebagai penggemar baru para kontributor, saya meng-kepo lewat jejaring sosial, dan meng-add facebook para kontributor. Dan ternyata mereka memiliki kedekatan dan keakraban satu sama lainnya, meskipun kesemuanya berada pada jarak yang jauh.
Melihat aktivitas para kontributor di linimasa twitter dan facebook ini yang menjadi rutinitas saya ketika log in jejaring sosial. Hal ini membuat informasi-informasi dan pembicaraan mereka bisa saya dapatkan. Pada bulan awal September, saya yang kebetulan sudah meng-add facebook Taufiq Rahman, salah satu founder jakartabeat.net mengupload cover buku yang sudah saya sebutkan diatas tadi. Buku dengan cover hitam yang dibubuhi kata-kata dengan penekanaan tebal berwarna merah yang menekankan judul buku tersebut. Tidak main-main, judul yang sangat mengena di kepala tersebut adalah “Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer”.
Sebulan setelah perkenalan cover buku di facebook tersebut, di situs jakartabeat.net pada awal Oktober 2012 melakukan sesi pre order buku tersebut yang dijual 40 ribu saja sudah termasuk ongkos kirim. Saya yang kebetulan sudah mengenal kontak dari JB, yaitu bung Prys langsung memesan buku Taufiq Rahman tersebut. Setelah seminggu menunggu, akhirnya buku tersebut sampai juga di kosan saya di Depok dalam kondisi aman. Saya menamai buku ini adalah buku yang penting pada bulan Oktober ini karena sebelumnya saya sudah tahu kemampuan analisis politik dan musik Taufiq Rahman di jakartabeat.net. Saat ini, buku Lokasi Tidak Ditemukan sudah dijual di berbagai kota di Indonesia termasuk Depok. Saat ini setiap saya ketika pulang dari kampus melewati Gang Sawo, Daerah Barel Stasiun Universitas Indonesia, saya sudah melihat buku ini terpampang di kedai Cak Tarno.
Saya membaca buku tersebut perlahan-lahan satu persatu dan sesekalinya berhenti sejanak untuk berpikir atau sekedar melamun. Buku ini saya selesaikan membacanya seminggu, karena saya juga kebetulan sedang UTS di kampus, jadi lebih memprioritaskan tugas terlebih dahulu. Setelah seminggu selesai membaca buku tersebut, saya menyimpulkan bahwa buku ini mebih menyerupai catatan harian. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Amarah, Telaah, dan Ziarah. Selain itu buku ini dibuka oleh kata pengantar Harlan Boer yang notabene juga adalah seorang kontributor jakartabeat.net. Harlan Boer menjelaskan mengenai Segitiga “Selera-Antusiasme-Independesi” Yang Tidak Melulu Sama Sisi, Namun Ekstra Sip!. Kata pengantar ini menjelaskan tentang pandangan Harlan Boer terhadap sosok Taufiq Rahman dalam penulisan buku ini. Hal yang menjadi poin dalam kata pengantar ini dan menarik perhatian saya adalah kalimat terakhirnya.
Saya bukan penulis kata pengantar profesional, belum pernah pula mewawancarai atau curhat dengan para senior penulis kata pengantar, tetapi tetek-bengek ini sebaiknya Anda simpan (trivia: kata pengantar ini adalah “take ketiga”). Itu karena tulisan-tulisan di halaman nanti adalah yang dipegang dengan kesungguhannya: menulis musik berarti menulis manusia.”
Kalimat “menulis musik berarti menulis manusia” ini yang saya anggap keren. Karena menulis tentang musik yang berkaitan dengan nada-nada saja merupakan hal yang biasa, maka dari itu fenomena musik sendiri dan dampak secara sosialnya juga seharusnya dituliskan. Saya yakin, menulis musik bukan perkara yang mudah, dan perlu riset yang luas yang mencakup berbagai pengetahuan untuk mempertajan tulisan musik itu sendiri. Dan, Taufiq Rahman berhasil dlaam mengombinasikan antara selera musik, antusiasme yang tinggi dan didukung oleh independensinya yang sangat subjektif berdasarkan pengalaman Taufiq Rahman.
Amarah
Pada bagian ini terdapat enam tulisan Taufiq Rahman yang menunjukkan bahwa bentuk ketidaksetujuan fenomena pandangan musik secara umum dangan penyangkalan yang disertai argumen bagus untuk memberikan pandangan sebelumnya. Simak saja pada tulisan, Fleet Foxes di antara Lady Gaga dan Wabah Narsisme, Keith Richards dan Berhala-Berhala rock n Roll Itu, dan Mahakarya Punk Bukanlah Nevermind The Bollocks.  Ketiga tulisan tersebut yang secara tegas merubah pandangan-pandangan mengenai mitos-mitos fenomena musik yang ada di masyarakat.
Telaah
Jujur saja, saya sebagai pembaca awam masih belum bisa membedakan tentang bagian Amarah dan Telaah ini. Saya sampai bolak-balik membacanya agar bisa menemukan perbedaan kedua bab ini. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki kesamaan yaitu penyangkalan terhadap mitos-mitos dan analisa commonsense dalam masyarakat. Terutama mengenai penyangkalan album terbaik Pink Floyd, yang menurut Taufiq Rahman adalah Piper At This Gates Of Dawn. Mungkin pada hanya artikel ini saya tidak bisa membedakan untuk pada bagian Amarah dan telaah.
Untuk sebelas tulisan lainnya, saya setuju masuk dalam bab Telaah. Hal ini dikarenakan banyak gagasan-gagasan baru yang tidak bermaksud menyangkal seperti yang dijelaskan padaa bagian Amarah tersebut. Tulisan-tulisan opini ini di dalamnya memuat gagasan-gagasan mengapa fenomena pembangkangan bisa berhasil, simak pada artikel Kenapa Lagu Protes Iwan fals, Slank, dan Rhoma Irama Berhasil?. Selain itu tulisan menarik pada Grunge, Gen X, dan Senja Kala Orde Baru yang menuturkan masih dalam musik pembangkangan.
Pada tulisan Master of Reality: Album Relijius(?) ini yang membuat orang penasaran akan mengecek apakah inikah sisi spiritual daari Black Sabbath yang konon sebelumnya adalah penyembah setan. Dan tidak lupa tulisan yang seperti ditekankan pada kata pengantar oleh Harlan Boer mengenai Menulis Musik Adalah Menulis tentang Manusia yang membuka mata bahwa menulis musik tidak hanya menganalisa nada-nada saja. Dan penelitian secara langsung Taufiq Rahman terhadap anak Punk Marjinal di Jagakarsa yang ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Pada artikel Punk, Karang Taruna, dan Soekarno ini yang menjelaskan bahwa anak punk memiliki masa depan suram. Sifat optimis dan bekerja keras dari dalam sendiri inilah yang menjadi pijakan utama anak punk Marjinal.
Ziarah
Pada bagian inilah semua petualangan Taufiq Rahman yang konsisten dan antusias terhadap selera musiknya menjadi bahan bakar penulisan buku ini. Saya juga merasakan perjuangan cerita kalimat demi kalimat yang diceritakan seperti cerpen petualangan ini. Seperti cerita yang tidak terduga tentang orang Indonesia yang musiknya diakui dunia internasional, simak tulisan Suarasama: Musik Melayu Mampir Ke Chicago.  Bahkan Neil Strauss mengomentari Suarasama.
Tidak diragukan lagi bahwa kelompok ini telah mencapai sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, mencari-cari sesuatu di luar batas-batas dan ke semua arah, mencari dimensi-dimensi kesejatian spiritual melalui melodi
Selain itu ulasan menarik yang sangat khas anak muda, dalam tulisan Rage Against The Machine di Lollapalooza 2008 yang bisa saya rasakan kemeriahannya. Serta perjalanan melelahkan dengan berbagai cerita baru dengan mengendarai Bus Greyhound yang dikaitkan dengan Simon & Garfunkel pada tulisan Hilang di American Midwest dengan Bus Greyhound. Dan tentunya tulisan yang membuat saya sangat iri, ingin pergi kesana, yaitu Rock and Roll Hall of Fame yang sayangnya Taufiq Rahman bukan penggemar The Beatles. Meskipun demikan, penuturan di Ziarah Ke Kuil Rock n Roll ini bisa dirasakan oleh orang-orang sehingga membayangkan masuk kedalam museum rock n roll tersebut. Selain itu, sangat tepat apabila menaruh artikel ini pada akhir buku ini.
Saya yakin, setalah taufiq Rahman berkeliling dan melakukan perjalanan jauh sampai 15.000 kilometer ini, tidaklah membuat dirinya sudah puas dengan semuanya. Maka dari itu, dia tidak menemukan lokasi tempat sejatinya rock n roll tersebut. Pada dasarnya rock n roll bukanlah sebuah tempat yang statis dan berdiam diri, akan tetapi hasrat pencarian tanpa henti adalah makna dari rock n roll itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Playlist Lagu Masa-masa Mencari Pekerjaan

Morfem – Hey, Makan Tuh Gitar: Album Kedua Tetap Berenergi

The SIGIT – Detourn: Kembalinya Para Druids